Minggu, 02 Februari 2014

Anakku Berubah Jadi Kepompong

Cerpen " Anakku Berubah Jadi Kepompong " oleh Fakhrunnas MA Jabbar. Terbit di koran Media Indonesia edisi 2 Februari 2014.

SEJAK kecil aku suka bertamsil soal alam. Boleh jadi kehidupan di perkampungan telah mewariskan keakraban dengan sawah, dedaunan, ladang, semak belukar, atau pepohonan. Aku bisa mafhum bila orang-orang kampung menamsilkan daur kehidupan sejak lahir hingga wafat laksana ulat daun.

Tanah Melayu telah mewariskan banyak hal soal kedekatan manusia dengan alam. Apalagi kampung kelahiranku berdekatan dengan kaki Bukit Barisan yang sejuk dan hijau. Dari ketinggian bukit itu terlihat jelas cekungan rendah berwarna kebiruan. Itulah Selat Malaka yang amat bersejarah dalam berdiri tegaknya imperium Melayu.

Bermula dari ulat, lalu bermetamorfosis jadi kepompong, dan lepas jadi kupu-kupu yang elok. Kupu-kupu yang berwarna-warni. Kupu-kupu itu kawin, menebar telur di dedaunan, lalu menjelma ulat kembali. Begitu selalu, bagai lingkaran yang tak putus-putus.

Buah pernikahanku selama dua puluh tahun lebih dengan Salma selalu kubayangkan bagai metamorfosis ulat, kepompong, dan kupu-kupu itu. Anakku lima orang; tiga lelaki dua perempuan. Orang bilang, semuanya gagah dan molek. Mereka tumbuh layaknya anak-anak lain. Memang baru Mufti yang beranjak dewasa. Selebihnya, Namiroh, Zali, Ruspan, dan Atiqa berselang dua tahun saja. Jadi, aku masih punya anak-anak belia yang butuh perhatian.

Entah kenapa, pernikahanku tiba-tiba mengikuti lingkaran metamorfosis kupu-kupu itu. Atas alasan ketidakcocokan atau alasan lain yang tak mungkin kusebutkan secara terbuka–malu juga bila dibaca semua orang–aku memutuskan mengakhiri pernikahan itu. Kulepas Salma bagai melepas seekor kupu-kupu yang boleh terbang dan hinggap di mana saja. Tapi, bukan ihwal Salma yang mau kuceritakan agak panjang lebar.

Aku hanya ingin berkisah soal Mufti, anak sulungku. Ia pintar, dan banyak orang memujinya. Bukannya mau menyombong diri, konon kepintaran itu menitis dariku, atau setidaknya dari garis keturunanku. Kuliahnya di bidang elektronika dirampungkannya kurang dari tiga tahun. Lalu, menyelesaikan gelar magister di sebuah universitas terkemuka di Jawa.

Di awal kepergian Mufti merantau, memang ada sedikit keraguan dalam pikiranku. Lebih-lebih lagi emaknya. Sebab, orang Melayu tak begitu suka merantau. Dulu ketika masih di bangku sekolah dasar, anak laki-laki di kampung kami terbiasa tidur di surau atau musala. Tradisi tidur di luar rumah ini untuk menghindari sebutan anak yang ‘besar di ketiak emak’. Tapi, banyak juga anak yang tidur di rumah saja.

Mufti nyaris terperangkap dalam kemanjaan di bawah naungan emak. Keterpaksaannya merantau karena melanjutkan pendidikan setidaknya dapat menyelamatkannya dari tuduhan jadi anak penakut. Terus terang, aku berbahagia sekali bila menyaksikan Mufti dibesarkan di perantauan. Ia bisa menemukan kedewasaan dan kematangannya sebagai lelaki yang mandiri.

Setelah beberapa tahun di perantauan, Mufti tak banyak berubah. Dalam penilaianku, ia tak beranjak dewasa sebagaimana kuharapkan. Buktinya, setiap kepulangannya di masa liburan, ia selalu saja menyatakan sikapnya yang tidak bisa menerima perpisahanku dengan emaknya. Ia berpihak penuh pada emaknya. Aku disalahkan tanpa mendapatkan ruang untuk membela diri.

“Aku tak bisa menerima perceraian ini,” ucapnya berulang-ulang di setiap pembicaraan kami. Kalimat itu sudah jadi hafalanku. Setiap kalimat serupa terucap dari bibir Mufti, sudah bisa kubayangkan bagaimana akhir percakapan itu. Pasti berakhir dengan pertengkaran hebat.

“Aku tak bisa membayangkan bagaimana nasib adik-adikku. Apalagi Atiqa yang masih kecil. Ia butuh kasih sayang Ayah dan Emak,” lanjut Mufti.

Aku terus meyakinkan Mufti bahwa perpisahan sudah tabiat alam yang fana. Perpisahan adalah sebuah keniscayaan dalam hidup ini. Kalaupun bukan karena jodoh sudah berakhir, tapi yang pasti setiap pasangan akan berpisah karena kematian. Perceraian dan kematian itu secara lahir tak banyak bedanya. Saling meninggalkan satu dengan yang lain.

Tak terasa, hampir lima tahun pula perceraianku dengan Salma berlangsung. Aku tentu menemukan duniaku yang baru. Salma juga begitu. Aku tak begitu peduli, kabar burung yang menceritakan bagaimana Salma menjalani kehidupannya. Bahkan banyak cerita miring yang sampai juga ke telingaku. Tapi apa peduliku? Dari mana asalnya kapas/Dari kapas menjadi kain/Jangan dikenang orang yang lepas/ Sudah menjadi hak orang lain. Begitu kata pantun Melayu.

Namun dalam ihwal Mufti, inilah yang selalu membuatku bingung. Meski ia sudah bekerja dan sudah menambatkan pilihan hatinya sejak lama–bila tak ada aral melintang, tentu dalam satu-dua tahun ke depan ia akan mempersunting kekasihnya itu. Namun, Mufti tetap saja berpikir dangkal soal perceraianku dengan emaknya yang sudah terjadi cukup lama. Selalu saja ia mempersoalkan: kenapa aku menceraikan emaknya? Ia tak pernah bisa menerima apa pun alasanku.

Beberapa kali kubilang pada Mufti, tunggulah saatnya ketika ia sudah berumah tangga kelak, mudah-mudahan ia dapat memahami alasan perceraianku itu. Tapi, kata-kataku dibiarkannya bagai angin. Terbang melayang-layang. Menyeruak ke mana-mana. Bahkan hal yang lebih menyakitkanku, bisa-bisanya Mufti mengata-ngataiku dengan kalimat kasar. Tapi sungguh, aku tak akan mengungkapkannya terus terang di sini.

“Apa pun alasan Ayah, aku tak bisa terima!” sahut Mufti bila aku sudah bercerita panjang lebar soal perjalanan pernikahanku dengan emaknya. Termasuk lentingan kerikil yang lama-lama menumpuk sehingga menjadi alas an utama perceraian itu. Keleluasaan Salma selama belasan tahun itu telah menempatkanku pada posisi yang sangat tak berdaya. Ibarat sebuah kerajaan, aku telah menjadi raja yang tak berdaulat lagi. Aku tahu, sebenarnya banyak suami yang mengalami hal serupa. Namun, sebagian besar mereka tak mau rebut dengan urusan seperti itu sehingga tetap menjalani sisa pernikahannya tanpa banyak berharap.

“Kalau Ayah mau, semua itu bisa didudukkan kembali. Tapi, bukan dengan jalan perceraian…” Masih saja Mufti mengguruiku. Aku sangat membenci orang yang bertingkah laku begitu. Lebih-lebih lagi, anak kandungku sendiri beraninya mengata-ngataiku seperti itu.

“Ayah sudah tak kuat lagi,” ucapku sekadarnya.

“Kalau Ayah mau, pasti bisa. Itu hanya alasan yang dicari-cari.”

“Ayah yang paling tahu semuanya, karena Ayah yang mengalaminya.”

“Tapi Ayah tak pernah mengingatkan Emak soal yang begitu kan?”

“Sering… sering sekali.”

“Terus?”

“Kalau Ayah sudah menyampaikan hal itu, kami pasti bertengkar. Ribut. Ayah tak mau orang-orang di sekitar tahu isi periuk rumah tangga kita.”

Mufti terdiam sejenak.

“Sejak itulah Ayah memilih diam. Bertekuk lutut begitu saja. Bagi Ayah, itu jauh lebih baik daripada bertengkar setiap waktu.”

Mufti menatapku dengan mata yang memerah. Aku tahu, begitulah sikapnya ketika ia sudah tidak bisa menerima kata-kataku. Sejak perceraianku dengan emaknya, hampir tak bisa kutemukan tatap matanya yang lembut dan santun padaku. Sekeras-keras batu karang, sebenarnya masih saja bisa lentur bila setiap saat disentuh riak dan ombak, tapi hati Mufti lebih keras dari batu karang itu.

Di tengah malam, selepas tahajud, aku selalu merenung. Saat telapak tanganku tengadah kepada Allah Yang Maha Pengasih, aku bertanya dalam hati, kenapa aku ditakdirkan berhadapan dengan anak kandung yang justru ingin menikamku dari belakang? Boleh jadi kata-kataku berlebihan. Tapi aku tak punya pilihan lain. Tak punya tafsir lain. Tak punya firasat lain, selain perasaan sedih saat membayangkan caci maki Mufti padaku.

Perputaran waktu terus mengantarkan berbagai perubahan dalam hidup kami. Aku, Sarah, anak-anak kami yang masih kecil, juga Mufti sendiri. Namun, Mufti makin menemukan dunianya. Apalagi ia menjalani dunia kerja di perantauan yang lumayan jauh. Selalu aku berharap dengan pertambahan waktu itu terjadi perubahan-perubahan pada diri Mufti. Tapi, aku tak menemukan kejutan apa-apa pada diri Mufti.

Lelaki tinggi jangkung itu tetap membatu dengan keputusannya. Mufti tetap memusuhiku. Bahkan untuk sekadar berkirim kabar padaku pun tampaknya ia tak sudi. Ia berkeras dengan pendiriannya. Tak menerima perjalanan takdir yang telah memisahkan aku dengan emaknya.

Di kala merenung sendiri di tengah perjalanan malam, selalu aku bagai melihat bayangan Mufti di sela-sela dedaunan di pekarangan. Dedaunan itu bergulungan. Di dalamnya telur kupu-kupu baru saja menetaskan belasan ulat. Sebagian besar ulat itu berubah jadi kepompong. Kala dedaunnya mengering dan meranggas, berhamburanlah kupu-kupu warna-warni.

Salah satu kupu-kupu yang terbang itu berubah jadi Mufti. Berubah lagi saat bertelur di hamparan dedaunan. Menetas dan menjelma jadi ulat yang menggerogoti daun hingga menggulung diri. Selalu saja begitu. Entah sampai bila.

Fakhrunnas MA Jabbar, cerpenis, tinggal di Riau. Cerpennya Rumah Besar tanpa Jendela telah diangkat ke layar kaca. Ia pernah mengikuti ASEAN-Korea Cultural Exchange Programme di Seoul dan Kyong Ju.